Ini sebuah catatan perjalanan ke dua
saya ke Dili. Yang pertama tahun 2011 yang lalu, ketika saya mengikuti
penerbangan perdana Batavia Air dari Bandara Ngurah Rai ke Dili,
sayangnya hanya beberapa jam saja kdi Dili, karena pesawat segera
kembali lagi ke Bali. Sekarang Batavia berhenti terbang. Timor Leste
kehilangan satu penerbangan ke Bali, dan itu sangat mempengaruhi
pergerakan orang dan barang ke dan dari Dili. Kali ini saya diundang
pemerintah Timor Leste mengikuti Public-Private Partnership Investor
Conference mengenai pembangunan pelabuhan laut dan bandar udara,
diselenggarakan oleh Ministry of Foreign Affairs tanggal 6 sd 8 Maret
2013.
Sungguh suatu keberuntungan, saya dapat
melihat dan lebih memahami Timor Leste lebih dekat apalagi setelah
bertemu dengan beberapa Menteri bahkan sampai ke Panglima Angkatan
Bersenjata Timor Leste Mayor Jenderal Lere Annan. Saya selalu tertarik
untuk memahami dan mengerti suatu etnik, masyarakat, negara tentang
sejarah, perilaku dan keindahannya. Saya berusaha untuk menuliskannya
sekedar untuk sharing mudah-mudahan berguna bagi yang membacanya.
KOTA DILI
Dili adalah ibu kota dan juga kota
terbesar di Timor Leste, terletak di pantai utara Pulau Timor. Jumlah
penduduknya kurang lebih 200 ribu jiwa. Dili mulai dihuni orang-orang
Portugis pada tahun 1520. Pada tahun 1596 Dili menjadi ibu kota Timor
Portugis. Pada masa Perang Dunia II, Dili diduduki pasukan Jepang.
Pada tanggal 28 November 1975 Timor
Leste mengumumkan kemerdekaannya dari Portugal. Tetapi 9 hari kemudian,
pasukan Indonesia merebut Dili. Pada pada 17 Juli 1976, Timor Timur
dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Indonesia dan Dili dijadikan ibu kota
provinsi. Pada tahun 1991, di Dili terjadi Pembantaian Santa Cruz, di Indonesia disebut sebagai Insiden Dili. Lebih dari 250 orang terbunuh dan ini menarik perhatian dunia.
Tanggal 20 Mei 2002 Timor Leste
memerdekakan dirinya dan Dili menjadi ibu kota negara baru tersebut.
Saat terjadi krisis politik pada Mei 2006, kota Dili menjadi sasaran
konflik, sehingga kota Dili mengalami kerusakan yang cukup parah.
PANTAI DILI
Pada hari Jumat itu, saya dijemput Ze
Lobato jam 06.30 pagi. Pagi yang cerah, matahari baru tampak semburat
sinarnya di ufuk timur. Kami bersama Nico menyusuri jalan Avinida da
Portugal, menuju ke Cristo Rei.
Melewati monumen 12 November 1991. Di kiri jalan, ada sebuah monumen
barupa patung orang yang terbaring terkena tembakan dan dipangku orang
lain. Patung itu masih dibungkus kain putih, menunggu peresmian.
Menurut Ze, monumen itu menjadi
pengingat kejadian pembantaian di makam Santa Cruz yang menewaskan
ratusan anak muda. Salah satu sejarah penting bagi Timor Leste. Dan
salah satu pemicu yang membuat Indonesia harus melepaskan Timor Timur.
Sebuah masa lalu yang kelam dan layak
Sebentar kemudian kami melewati pantai dengan tulisan berwarna jingga Largo de Licedere.
Terus menyusuri pantai. Dan melewati sebuah tikungan disisi bukit yang
terjal. Beberapa restoran berada di tepi kiri dan kanan pantai. Dan di
sebuah pertigaan yang ditandai dengan sebuah tugu kecil ditengahnya, Ze
bercerita bahwa dulu Ramos Horta ditembak disitu oleh orang-orang yang
berseberang politik, ketika sedang berolah-raga lari pagi. Rumah Amos
Horta kira-kira kurang dari 1 km dari pertigaan itu.
Setelah menempuh sekitar 10 km, kami
sampai di pelataran parkir Cristo Rei. PAgi itu suasana masih sepi,
hanya beberapa orang yang ada di sekitar lokasi ini. Belakangan nanti
baru saya tahu banyak bule memanfaatkan lokasi ini untuk joging
dan menjaga kebugaran jasmani. Patung Kristus dari bawah tampak
kecoklatan berdiri dengan dua tangan mengembang seakan mengucapkan
selamat datang atau memberi berkah. Patung Yesus ini berdiri diatas
bukit Fatucama, yang menjorok ke pantai, kanan kirinya laut.
Kami
mulai menapaki tangga naik ke atas. Untunglah tangganya dibuat
sedemikian rupa sehingga setiap beberapa anak tangga ada lantai yang
datar sedikit ada jeda untuk bernafas. Kalau tidak dibuat begitu, pasti
berat naik langsung ke atas. Untunglah tangga naik yang terbuat dari
keramik berwarna merah, dibuat tidak terlalu tajam mendaki, melainkan
kemiringannya berkisar hanya 40 derajat saja, sehingga mudah menaikinya.
Di
tepi kanan jalan naik, pada beberapa ratus meter dibuat perjalanan
spiritual Jesus. Pohon rindang menaungi jalan naik ke atas, sehingga
teduh, sejuk dan memberi oksigen yang melimpah.
Nico
menghitung anak tangga dan sampai diatas dia menyebut angka 692 buah
anak tangga naik. Tentu saja membuat nafas sedikit terengah dan
berkeringat. Rasanya ini cocok menjadi sarana kebugaran para remaja dan
juga untuk mengisi waktu bagi orangtua.
Setelah
melalui pelataran yang cukup luas kami terus naik ke atas. Dan akhirnya
sampailah kami diatas bukit Fatucama. Matahari bersinar terang, angin
berhembus sepoi-sepoi. Disitu, ditengah bukit Fatucama, patung Jesus
berdiri megah kedua tangannya mengembang mengarah laut. Saya perhatikan
arahnya, Cristo Rei ini menghadap ke tepian kota Dili. Ze Lobato bilang,
sebenarnya mengarah ke Pulau Alor yang tampak remang-remang di garis
cakrawala
Cristo
Rei ini tingginya 27 meter, berdiri pada tahun 1996. Desainnya dibuat
oleh Mochamad Syailillah yang lebih dikenal sebagai Bolil. Ide dari
pembangunan patung Cristo Rei ini diusulkan oleh Gubernur Timor Timur
pada waktu itu Jose Abilio Osorio Soares kepada Presiden Suharto,
sebagai hadiah dan peringatan ke 20 tahun integrasi Timor Timur. Biaya
pembangunan seluruhnya lebih dari Rp. 5 Milyar pada waktu itu.
Pada
tanggal 15 Oktober 1996 pendeta Katholik Roma Carlos Filipe Ximenes
Belo, bersama dengan Presiden Suharto dan Gubernur Timor Timur Jose
Abilio Osorio Soares, secara langsung menyaksikan pembukaan selubung
patung yang dilakukan dengan menggunakan helicopter dari udara.
Saya
keluar menerobos pagar, agar lebih luas melihat pemandangan dari atas
bukit ini. Dari atas bukit ini, kota Dili tampak sayup-sayup diujung
pandangan. Di arah depan Pulau Atauro. Jalan satu-satunya menuju ke
Cristo Rei dibawah sana tampak lurus, seperti sepotong runway bandara.
Bukit hijau di belakang kami terkena sinar matahari dari samping kiri,
sehingga warna hijaunya lebih terang dibandingkan dengan sisi kanannya
yang masih gelap.
Berpindah
kesebelah kanan sisi bukit, sebuah teluk langsung dibawah bukit yang
cukup tinggi dan terjal. Jalan dibawah tampak rusak terkena abrasi air
laut. Garis gelombang laut yang perlahan bergerak susul menyusul
menyentuh pantai tampak indah, seperti lukisan. Tentu saja ini menjadi
sasaran kamera yang tidak ada habisnya.
Sebenarnya
saya masih ingin berlama-lama disini, tetapi masih ada acara pertemuan
berikutnya, jadi saya segera turun. Di pelataran sudah mulai banyak
pengunjung yang datang, diantaranya David Martz yang kemarin berbicara
di acara konperensi. Kami segera turun kebawah.
Selama
di hotel saya sangat menikmati lezatnya kopi asli Timor. Oleh karena
itu setelah turun dari Cristo Rei, saya minta Ze mengantarkan kami untuk
membeli kopi asli. Dan dalam perjalanan pulang ke hotel, Ze
mengantarkan kami ke pabrik pengolahan kopi Timor. Saya diantar Ze
datang langsung ke penjualan di pabriknya. Satu bungkus kecil 250 gram,
harganya USD 4. Cukup murah dan terjangkau. Di bungkusnya tertulis :
100% washed Arabica Mountain Cafe,
Saya
perhatikan tulisan di bungkusnya. Di tengah hutan Timor tumbuh satu
dari sekian banyak biji kopi di dunia, Cafe Timor. Diatas tanah di
dataran tinggi, kondisi tanah, dan kelembaban yang tinggi menghasilkan
biji kopi yang asli dan memiliki aroma khas. Penanaman kopi di Timor
Leste sudah berlangsung lebih dari 2 abad. Penanaman kopi ini dilakukan
oleh petani kecil di gunung-gunung. Biji kopi dipetik dengan tangan,
ketika benar-benar sudah kemudian diproses dengan supervisi teknis dari
Amerika. Bagi para penggemar kopi, saya anjurkan untuk mencobanya. Konon
kabarnya kopi ini menjadi salah satu bahan dari Star Buck.
Jam
09.30 pagi mesti cepat kembali pulang ke hotel, karena ada rencana
bertemu dengan Menteri Luar Negeri Timor Leste, Jose Luis Guterres. Ze
membawa kami menyusuri pantai, kembali ke hotel. Di depan Monumen 12
November saya minta berhenti dan mengambil beberapa foto. Kain putih
yang sengaja ditutupkan di tubuh patung yang terbaring, dan juga
menutupi muka patung yang menolong dan memegangi badan patung yang
tertembak. Kain putih yang membalut patung membuat bentuk patung itu
yang konon dibuat di Eropa, semakin tampak dramatik!
Empat
hari berada di Dili, ditengah-tengah kesibukan kantor pasti belum
banyak yang dapat dilihat. Saya masih ingin melihat distrik-distrik
lainnya, menyeberang ke Pulau Atauro dan melihat Los Palos dan ke ujung
pulau Timor Tutuala, yang katanya sangat indah. Mudah-mudahan lain kali
masih ada kesempatan lagi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !